Mengulas Tentang Kehidupan Masyarakat Pesisir
Pada dasarnya, manusia, dalam batas-batas tertentu, memiliki kepribadian, gaya hidup, dan kecenderungan-kecenderungan yang (a) sama dengan manusia lain; (b) sama dengan sebagian manusia lain; dan (c) tidak sama dengan manusia lain. Bagaimana ketiga kemungkinan itu bisa dijelaskan berdasarkan pada perspektif antropologis? Demikian pula, bagaimana karakteristik masyarakat Jawa Pesisiran, apakah mereka memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan masyarakat Jawa yang berada dalam wilayah (sosialisasi) Negarigung dan Mancanegari? Jika memang menunjukkan perbedaan-perbedaan, maka pada masalah-masalah apa perbedaan itu bisa dilihat, dan faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan itu ada? Kemudian ketika kita sudah bisa menandai corak dari masyarakat Jawa Pesisiran itu, maka bagaimana kita bisa mendekati mereka secara pas sehingga sasaran untuk dapat memberdayakan potensi mereka dapat berjalan dengan baik?
Dalam tulisan ini akan dibicarakan masalah tipologi masyarakat Jawa dan kebudayaannya, khususnya masyarakat Pesisir Jawa.
Warga kota ataupun warga desa, keduanya tinggal secara menyebar dalam lingkungan yang berbeda. Lingkungan hidup mereka, adakalanya berupa (a) pegunungan, (b) dataran, dan (c) pantai. Istilah pantai di sini lebih mengacu kepada “laut”. Jadi, masyarakat pantai adalah masyarakat yang tinggal di kawasan yang relatif dekat dengan laut. Jadi, masyarakat pantai adalah masyarakat yang tinggal di kawasan yang relatif dekat dengan laut. Tetapi kalau tinjauannya pada wilayah kebudayaan Jawa dari masa lalunya yaitu pada masa kerajaan Mataram, maka masyarakat Jawa di sini dapat dibedakan ke dalam tiga tipe wilayah kebudayaan, yaitu (a) negarigung, (b) mencanegari, dan (c) pasisiran.
Daerah Negarigung yaitu daerah di seputar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat di kedua daerah itu disebut “tiyang negari” (orang negeri). Kebudayaan yang dahulunya berakar dari keraton. Oleh karena berakar dari keraton, maka peradabannya masuk pada ketegori peradaban besar. Ciri dari peradaban ini ialah: mengutamakan kehalusan (baik bahasa, tingkah laku, maupun kesenian). Pandangan-pandangan keagamaannya (dahulunya) cenderung sinkretik (bandingkan pada Geertz, 1984, Koentjaraningrat, 1984).
Daerah Mancanegari adalah suatu sebutan untuk daerah-daerah di luar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat yang hidup dalam peradaban ini disebut sebagai “tiyang pinggiran” (orang pinggiran). Daerah Mancanegari ini merupakan daerah pinggiran dari kebudayaan yang berkembang di kerajaan Jawa Mataram pada antara abad ke-17 hingga abad ke-19. Masyarakat Mancanegari memiliki kemiripan-kemiripan dengan masyarakat Negarigung dalam hal pementingan tutur bahasa dan keseniannya, kendatipun kualitasnya tidak sebaik atau sehalus peradaban kraton. Demikian juga soal pandangan keagamaannya (dahulunya dan mungkin sampai sekarang) ada kecenderungan kepada agama Kejawen.
Daerah Pesisir adalah suatu daerah di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa. Daerah sepanjang pantai utara (pesisiran) pulau Jawa ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu Pesisiran Barat dan Pesisiran Timur. Yang pertama, meliputi daerah-daerah: Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wirodesa, Tegal, dan Brebes. Yang kedua meliputi daerah: Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus, dan Jepara (De Graaf, 1949; Schrieke, 1959, dan Ricklefs, 1974. Dikutip dari Hardjowirogo, 1983: 105).
Masyarakat Pesisiran menunjukkan beberapa ciri. Sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko. Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Di samping itu cara hidup orang Jawa Pesisir cenderung boros dan menyukai kemewahan, dan suka pamer. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit. Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti kayi daripada pejabat pemerintah.
Mengapa masyarakat Pesisiran memiliki kecenderungan seperti itu? Ini menjadi tugas kita bersama untuk mendiskusikannya. Penulis bisa mengatakan bahwa sikap lugas dan tidak menyukai cara-cara yang berbelit-belitmisalnya, hal ini karena dipengaruhi oleh lingkungan hunian mereka di kawasan dataran/pantai yang transparan (berbeda dengan lingkungan pegunungan), dan dipengaruhi oleh corak keislaman yang lebih menekankan pada “keterus-terangan”. Demikian juga sikap egaliternya, yakni menyukai hubungan antarmanusia dalam kesejajaran (bukan: atas – bawah). Ada ungkapan “La fadzla li ‘arabiyyin ala ‘ajamiyyin illa bit taqwa”. (Tidak ada kelebihan antara suku Arab dengan suku di luarnya, kecuali oleh ukuran ketaqwaan).
Kalau masyarakat pesisir cenderung boros, ada kaitannya dengan cara mereka memperoleh penghasilan yang sering tidak tetap. Orang yang pergi melaut misalnya, dalam musim ikann mereka dengan mudah akan memperoleh penghasilan berlebih. Pada saat seperti itu, para nelayan, para pemilik empang-empang, dengan mudah bisa membelanjakan pendapatannya dalam jumlah yang cukup besar.
Keberanian untuk itu, ada kaitannya pula dengan perasaan ingin pamer. Perasaan ingin pamer itu seringkali tidak dikontrol lagi oleh pendapatan riilnya, tetapi yang penting adalah bisa membeli barang-barang mewah tadi. Oleh karena itu, orang-orang pesisir mudah untuk melakukan transaksi dengan model hutang-piutang (lihat misalnya suasana yang terbentuk pada hari-hari menjelang Hari Raya Idul Fitri).
Berbagai sikap dan cara hidup seperti itu, tentu saja ada sisi negatif dan positifnya. Tugas kita selajutnya adalah bagaimana mengurangi sisi-sisi negatif dan mengembangkan sisi-sisi positifnya.
Disponsori oleh:
Di antara dampak yang positif dari migrasi ke kota ialah munculnya inspirasi-inspirasi baru karena bertambahnya wawasan perkotaan, budaya-budaya kota seperti yang dicirikhasi oleh kesungguhan, kompetisi, dan individualistik sehingga berani memulai usaha-usaha baru. Keberhasilan para pengrajin ukir Jepara misalnya (lihat Thohir, 1991), banyak dipengaruhi oleh pengalaman menjadi buruh atau pekerja di kota besar seperti Jakarta. Sedang dampak yang negatif dari kondisi terutama perubahan kerja dan migrasi (urbanisasi) antara lain adalah desa banyak ditinggalkan oleh penduduk yang berpotensi, sehingga penduduk yang tinggal di desa adalah mereka yang berusia tua dan anak-anak muda yang kurang kreatif. Lebih lanjut dari itu, lahan-lahan sawah produktif dan kekayaan laut, belum bisa menarik minat mereka untuk memanfaatkannya. Kemudian dilihat dari segi keagamaannya, di sebagian daerah Pesisiran, dalam hal ini masyarakat Bangsri Jepara, dalam studi awal penulis (Thohir, 1995; 1997) sulit dikategorikan sebagai bercorak Islam puritan karena penduduk yang beragama Hindu, Kristen, dan Islam, termasuk Islam Abangan, sangat berimbang, sementara itu pilihan pekerjaan sebagian dari penduduk (wanita) desa-desa pesisiran itu relatif banyak yang menjajakan dirinya sebagai wanita penghibur laki-laki dan pekerjaan itu dilakukan di luar desa/daerahnya sendiri (Thohir, 1997).
Kegiatan ekonomi dan pemilihan pekerjaan bagi masyarakat Pesisir misalnya menjadi petani, nelayan, atau pedagang, dalam perspektif kebudayaan dapat dijelaskan ke dalam konsep hidup, pilihan hidup, pemenuhan kebutuhan hidup, dan pemilihan strategi-strategi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi sesuai dengan tingkat-tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh warga masyarakat yang bersangkutan dalam konteks idealisasi sesuai dengan status dan peran yang ingin dijalankan. Apabila hidup dipersepsi atau dinilai sebagai berharga sepanjang ditupang oleh kecukupan ekonomi, untuk menunaikan tugas sosial dan keagamaan, maka “etos kerja” di dalam kebudayaan itu sebetulnya mendapat nilai tinggi. Kalau etos berusaha itu diterapkan pada petani-petani sawah, tetapi dalam kenyataannya pertanian sawah tidak mampu menaikkan taraf kehidupan ekonomi menjadi lebih baik, maka kondisi ini muncul di samping karena teknologi pertaniannya yang masih harus ditingkatkan, juga dari faktor-faktor luaran yang harus dicurigai seperti nilai jual hasil pertanian yang rendah yang tidak seimbang dengan harga-harga barang di luar pertanian, sehingga pendapatan petani hampir selalu tidak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar apalagi pemilikan sawah rata-rata sempit. Jadi, kendatipun bertani memiliki nilai positif dalam kebudayaan, tetapi kalau hasil riil dari pertanian tidak dapat diandalkan, maka dunia pertanian lama-kelamaan akan cenderung ditinggalkan oleh sebagian warga masyarakat yang bersangkutan.
Lain halnya dengan kekayaan laut. Kekayaan yang ada dalam laut (Jawa), hanya sebagian kecil saja dari penduduk masyarakat Pesisir yang berusaha mengaisnya, itupun dalam usaha-usaha kecil seperti kaum nelayan tradisional. Kondisi ini dalam perspektif kebudayaan dapat dijelaskan bahwa konsep laut dan melaut bagi umumnya masyarakat Jawa Pesisir belum mendarahdaging, tidak sebagaimana konsep sawah dan pertanian. Oleh karena belum mendarahdaging — di samping juga gambaran mengenai melakukan kegiatan di laut penuh risiko — sementara gambaran mengenai kondisi kehidupan nelayan masih buram — maka dalam proses sosialisasi dan selama dalam pendidikan — belum ada upaya-upaya untuk diorientasikan kepada kecintaan kepada laut, baik mengenai pengetahuan kelautan, pemanfaatan kekayaan laut, maupun teknologi kelautan. Terabaikannya kondisi ini mengakibatkan semangat untuk mencintai dan menjadi bangga sebagai pelaut, serta kesungguhannya untuk dapat memanfaatkan kekayaan laut, sangat berkurang. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah seharusnya bertanggungjawab, dalam arti perlu melakukan promosi besar-besaran dan terencana, seperti menggali kembali sastra-sastra lama yang berkaitan dengan laut untuk dijadikan bahan bacaan anak didik, membuat film-film yang dapat menggugah kecintaan dan kebanggaan sebagai pelaut, menkonsentrasikan pendirian lembaga-lembaga pendidikan kelautan di berbagai daerah setingkat kabupaten, sampai pada kegiatan terencana lain yang dapat mempercepat kecintaan dan kesanggupan untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan laut.
Untuk lebih mengarah kepada pemahaman permasalahan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, dalam kerangka peningkatan taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat, dibutuhkan kaji lanjut dalam bentuk yang lebih memusatkan perhatian kepada pemahaman atau pengertian (understanding) dengan menggunakan perspektif emik. Dalam perspektif emik itu, masyarakat tidak dijadikan objek tetapi justru dijadikan subjek. Artinya, mereka perlu dilibatkan untuk bersama-sama memahami permasalahan, menganalisis mengapa permasalahan itu muncul, dan alternatif-alternatif pemecahan apa saja yang bisa ditawarkan.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan diharapkan dapat secepatnya direvisi. Sejumlah LSM tersebut yakni Lakpesdam NU Jepara, Layar Nusantara, YLBHI-LBH Semarang LPH-YAPHI dan Forum Nelayan Jepara (FORNEL).
Sementara itu, Kepala Program dan Advokasi Layar Nusantara Jawa Tengah Sukarman, di Semarang, Jumat, mengatakan bahwa Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3) yang terdapat dalam Pasal 16 UU Nomor 27 Tahun 2007 merupakan salah satu bentuk kebijakan yang berpihak kepada pemilik modal. "Walaupun HP3 dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum, termasuk nelayan, namun dengan melihat persyaratan teknis, administrasi, dan operasional (Pasal 21), sulit bagi nelayan untuk mendapatkan HP3," katanya.
Menurut Karman, sejumlah pasal yang mengatur HP3 tersebut merupakan bentuk komersialisasi sumber daya pesisir. Hal tersebut, sesuai pasal 20 yang menyatakan bahwa HP3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. "Saat ini, Koalisi Rakyat Tolak HP3, yang terdiri dari perwakilan nelayan dan LSM sedang mengajukan gugatan dan berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan, yakni membatalkan pasal-pasal yang mengatur HP3 dalam UU Nomor 27 Tahun 2007," katanya
Karman mengatakan, dengan dihapuskannya pasal-pasal tersebut, maka nelayan dan masyarakat sipil berpeluang terlibat dalam menentukan kebijakan. Pada tingkat lokal, beberapa daerah Kabupaten atau kota dan provinsi sedang menginisiasi peraturan daerah tentang pengelolaan pesisir, misalnya di kabupaten Jepara. Bahkan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sudah melakukan pengesahan Perda tentang Pengelolan Pesisir. Ia menambahkan, masyarakat pesisir khususnya petambak tradisional dan nelayan tangkap sangat bergantung dengan keberadaan sumber daya pesisir dan kelautan.
Mereka membutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan yang berkelanjutan untuk menjamin kehidupan mereka. Namun, kondisi yang ada justru ada industrialisasi yang terjadi di pesisir pantai utara Jawa Tengah Berdasarkan catatan Layar Nusantara, lanjut Karman, ada 41 titik bencana ekologi akibat industrialisasi seperti pencemaran, reklamasi, rusaknya terumbu karang, hilangnya ikan tangkapan, dan abrasi.
Dalam tulisan ini akan dibicarakan masalah tipologi masyarakat Jawa dan kebudayaannya, khususnya masyarakat Pesisir Jawa.
Topologi Masyarakat Pesisir Jawa
Dilihat dari dekat jauhnya dari pusat-pusat pemerintahan administratif, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua jenis yaitu (a) mereka yang tinggal di perkotaan dan, (b) yang tinggal di pedesaan. Penduduk perkotaan adalah mereka yang tinggal di pusat-pusat kota propinsi, kota madya, dan kabupaten. Dewasa ini penduduk yang tinggal di pusat kota kecil di Jawa seperti kawedanan dan kecamatan pun sudah bisa dikategorikan sebagai orang-orang kota. Masalahnya prasarana dan sarana perkotaan sudah mulai tersedia di daerah pusat-pusat kawedanan dan atau kecamatan, kendati dalam skala yang lebih kecil dan terbatas. Salah satu ciri dari perkotaan – dalam unit yang paling kecil – warganya dipimpin oleh seorang lurah bukan kepala desa. Ini berarti, desa-desa yang tersebar dan yang masih dipimpin oleh kepala desa masuk dalam kategori penduduk pedesaan. Namun demikian, ada juga desa-desa yang berdekatan dengan perkotaan, termasuk penduduk yang ada di dalamnya, yang sudah mulai bisa memanfaatkan fasilitas dan bahkan bergaya hidup orang kota.Warga kota ataupun warga desa, keduanya tinggal secara menyebar dalam lingkungan yang berbeda. Lingkungan hidup mereka, adakalanya berupa (a) pegunungan, (b) dataran, dan (c) pantai. Istilah pantai di sini lebih mengacu kepada “laut”. Jadi, masyarakat pantai adalah masyarakat yang tinggal di kawasan yang relatif dekat dengan laut. Jadi, masyarakat pantai adalah masyarakat yang tinggal di kawasan yang relatif dekat dengan laut. Tetapi kalau tinjauannya pada wilayah kebudayaan Jawa dari masa lalunya yaitu pada masa kerajaan Mataram, maka masyarakat Jawa di sini dapat dibedakan ke dalam tiga tipe wilayah kebudayaan, yaitu (a) negarigung, (b) mencanegari, dan (c) pasisiran.
Daerah Negarigung yaitu daerah di seputar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat di kedua daerah itu disebut “tiyang negari” (orang negeri). Kebudayaan yang dahulunya berakar dari keraton. Oleh karena berakar dari keraton, maka peradabannya masuk pada ketegori peradaban besar. Ciri dari peradaban ini ialah: mengutamakan kehalusan (baik bahasa, tingkah laku, maupun kesenian). Pandangan-pandangan keagamaannya (dahulunya) cenderung sinkretik (bandingkan pada Geertz, 1984, Koentjaraningrat, 1984).
Daerah Mancanegari adalah suatu sebutan untuk daerah-daerah di luar kota Solo dan Yogyakarta. Masyarakat yang hidup dalam peradaban ini disebut sebagai “tiyang pinggiran” (orang pinggiran). Daerah Mancanegari ini merupakan daerah pinggiran dari kebudayaan yang berkembang di kerajaan Jawa Mataram pada antara abad ke-17 hingga abad ke-19. Masyarakat Mancanegari memiliki kemiripan-kemiripan dengan masyarakat Negarigung dalam hal pementingan tutur bahasa dan keseniannya, kendatipun kualitasnya tidak sebaik atau sehalus peradaban kraton. Demikian juga soal pandangan keagamaannya (dahulunya dan mungkin sampai sekarang) ada kecenderungan kepada agama Kejawen.
Daerah Pesisir adalah suatu daerah di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa. Daerah sepanjang pantai utara (pesisiran) pulau Jawa ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu Pesisiran Barat dan Pesisiran Timur. Yang pertama, meliputi daerah-daerah: Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wirodesa, Tegal, dan Brebes. Yang kedua meliputi daerah: Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus, dan Jepara (De Graaf, 1949; Schrieke, 1959, dan Ricklefs, 1974. Dikutip dari Hardjowirogo, 1983: 105).
Masyarakat Pesisiran menunjukkan beberapa ciri. Sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko. Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Di samping itu cara hidup orang Jawa Pesisir cenderung boros dan menyukai kemewahan, dan suka pamer. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit. Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti kayi daripada pejabat pemerintah.
Mengapa masyarakat Pesisiran memiliki kecenderungan seperti itu? Ini menjadi tugas kita bersama untuk mendiskusikannya. Penulis bisa mengatakan bahwa sikap lugas dan tidak menyukai cara-cara yang berbelit-belitmisalnya, hal ini karena dipengaruhi oleh lingkungan hunian mereka di kawasan dataran/pantai yang transparan (berbeda dengan lingkungan pegunungan), dan dipengaruhi oleh corak keislaman yang lebih menekankan pada “keterus-terangan”. Demikian juga sikap egaliternya, yakni menyukai hubungan antarmanusia dalam kesejajaran (bukan: atas – bawah). Ada ungkapan “La fadzla li ‘arabiyyin ala ‘ajamiyyin illa bit taqwa”. (Tidak ada kelebihan antara suku Arab dengan suku di luarnya, kecuali oleh ukuran ketaqwaan).
Kalau masyarakat pesisir cenderung boros, ada kaitannya dengan cara mereka memperoleh penghasilan yang sering tidak tetap. Orang yang pergi melaut misalnya, dalam musim ikann mereka dengan mudah akan memperoleh penghasilan berlebih. Pada saat seperti itu, para nelayan, para pemilik empang-empang, dengan mudah bisa membelanjakan pendapatannya dalam jumlah yang cukup besar.
Keberanian untuk itu, ada kaitannya pula dengan perasaan ingin pamer. Perasaan ingin pamer itu seringkali tidak dikontrol lagi oleh pendapatan riilnya, tetapi yang penting adalah bisa membeli barang-barang mewah tadi. Oleh karena itu, orang-orang pesisir mudah untuk melakukan transaksi dengan model hutang-piutang (lihat misalnya suasana yang terbentuk pada hari-hari menjelang Hari Raya Idul Fitri).
Berbagai sikap dan cara hidup seperti itu, tentu saja ada sisi negatif dan positifnya. Tugas kita selajutnya adalah bagaimana mengurangi sisi-sisi negatif dan mengembangkan sisi-sisi positifnya.
Masyarakat Jawa Pesisir Pedesaan
Dilihat dari jaringan desa-kota, dewasa ini masyarakat Pesisir utara Jawa dapat dibedakan pada penduduk yang tinggal di desa-desa Pesisir, dan penduduk yang tinggal di kota-kota, seperti kota kabupaten. Penduduk yang tinggal di desa-desa, memiliki corak pekerjaan yang beragam, tetapi yang dominan (ternyata, atau menurut data statistik) adalah pertanian sawah semi tradisional sehingga tingkat keberhasilannya masih banyak bergantung pada “derma alam”) sementara itu, minat penduduk Pesisir Jawa terhadap dunia kelautan masih sangat kecil, dan dari jumlah yang sangat kecil itu, umumnya masih berada pada nelayan tradisional, sehingga gambaran mengenai kehidupan umumnya nelayan di Jawa ini masih sangat memprihatinkan (bandingkan pada Mubyarto, dkk. 1984). Yang terjadi kemudian adalah para nelayan masih tetap terpuruk ke dalam kemiskinan, dan sebagian dari para petani sawah (apalagi yang buruh tani) mulai kehilangan “kepercayaan diri” terhadap atau untuk mengandalkan hasil pertanian sehingga sebagian dari para petani itu menjual sawah-sawahnya dan beralih kepada usaha dagang atau jasa, sementara para buruh tani berpindah orientasi kerja menjadi buruh lepas, menjadi buruh pabrik, atau migrasi ke kota. Kalau dihitung secara statistik, penduduk usia muda yang meninggalkan desa dan mengadu nasib ke kota-kota besar, jumlahnya sangat besar dan secara hepotesis akan semakin membengkak tajam.(Bandingkan pada Gunawan dan Erwidodo, 1993). Sementara itu, dalam dunia perdagangan, tidak berkembang. Kondisi ini akan melahirkan berbagai dampak, positif dan negatif.Disponsori oleh:
Di antara dampak yang positif dari migrasi ke kota ialah munculnya inspirasi-inspirasi baru karena bertambahnya wawasan perkotaan, budaya-budaya kota seperti yang dicirikhasi oleh kesungguhan, kompetisi, dan individualistik sehingga berani memulai usaha-usaha baru. Keberhasilan para pengrajin ukir Jepara misalnya (lihat Thohir, 1991), banyak dipengaruhi oleh pengalaman menjadi buruh atau pekerja di kota besar seperti Jakarta. Sedang dampak yang negatif dari kondisi terutama perubahan kerja dan migrasi (urbanisasi) antara lain adalah desa banyak ditinggalkan oleh penduduk yang berpotensi, sehingga penduduk yang tinggal di desa adalah mereka yang berusia tua dan anak-anak muda yang kurang kreatif. Lebih lanjut dari itu, lahan-lahan sawah produktif dan kekayaan laut, belum bisa menarik minat mereka untuk memanfaatkannya. Kemudian dilihat dari segi keagamaannya, di sebagian daerah Pesisiran, dalam hal ini masyarakat Bangsri Jepara, dalam studi awal penulis (Thohir, 1995; 1997) sulit dikategorikan sebagai bercorak Islam puritan karena penduduk yang beragama Hindu, Kristen, dan Islam, termasuk Islam Abangan, sangat berimbang, sementara itu pilihan pekerjaan sebagian dari penduduk (wanita) desa-desa pesisiran itu relatif banyak yang menjajakan dirinya sebagai wanita penghibur laki-laki dan pekerjaan itu dilakukan di luar desa/daerahnya sendiri (Thohir, 1997).
Kebudayaan Pesisir
Kebudayaan Pesisir dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang dipunyai dan terjiwai oleh masyarakat Pesisir, yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, untuk mendorong, dan untuk menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Dalam pengertian ini, kebudayaan adalah suatu kumpulan pedoman atau pegangan yang kegunaannya operasional dalam hal manusia mengadaptasi diri dengan dan menghadapi lingkungan-lingkungan tertentu (fisik/alam, dan sosial) agar mereka itu dapat melangsungkan kehidupannya, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan untuk dapat hidup secara lebih baik lagi. Karena itu kebudayaan juga dinamakan sebagai disain menyeluruh dari kehidupan (lihat Suparlan, 1972; 1997).Penggunaan kebudayaan oleh para pendukungnya dalam kehidupan yang nyata, yaitu bagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan sehari-hari dalam kehidupannya sebagai warga masyarakat, terjadi karena adanya pranata-pranata sosial yang dipunyai oleh masyarakat tsb.Kegiatan ekonomi dan pemilihan pekerjaan bagi masyarakat Pesisir misalnya menjadi petani, nelayan, atau pedagang, dalam perspektif kebudayaan dapat dijelaskan ke dalam konsep hidup, pilihan hidup, pemenuhan kebutuhan hidup, dan pemilihan strategi-strategi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi sesuai dengan tingkat-tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh warga masyarakat yang bersangkutan dalam konteks idealisasi sesuai dengan status dan peran yang ingin dijalankan. Apabila hidup dipersepsi atau dinilai sebagai berharga sepanjang ditupang oleh kecukupan ekonomi, untuk menunaikan tugas sosial dan keagamaan, maka “etos kerja” di dalam kebudayaan itu sebetulnya mendapat nilai tinggi. Kalau etos berusaha itu diterapkan pada petani-petani sawah, tetapi dalam kenyataannya pertanian sawah tidak mampu menaikkan taraf kehidupan ekonomi menjadi lebih baik, maka kondisi ini muncul di samping karena teknologi pertaniannya yang masih harus ditingkatkan, juga dari faktor-faktor luaran yang harus dicurigai seperti nilai jual hasil pertanian yang rendah yang tidak seimbang dengan harga-harga barang di luar pertanian, sehingga pendapatan petani hampir selalu tidak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar apalagi pemilikan sawah rata-rata sempit. Jadi, kendatipun bertani memiliki nilai positif dalam kebudayaan, tetapi kalau hasil riil dari pertanian tidak dapat diandalkan, maka dunia pertanian lama-kelamaan akan cenderung ditinggalkan oleh sebagian warga masyarakat yang bersangkutan.
Lain halnya dengan kekayaan laut. Kekayaan yang ada dalam laut (Jawa), hanya sebagian kecil saja dari penduduk masyarakat Pesisir yang berusaha mengaisnya, itupun dalam usaha-usaha kecil seperti kaum nelayan tradisional. Kondisi ini dalam perspektif kebudayaan dapat dijelaskan bahwa konsep laut dan melaut bagi umumnya masyarakat Jawa Pesisir belum mendarahdaging, tidak sebagaimana konsep sawah dan pertanian. Oleh karena belum mendarahdaging — di samping juga gambaran mengenai melakukan kegiatan di laut penuh risiko — sementara gambaran mengenai kondisi kehidupan nelayan masih buram — maka dalam proses sosialisasi dan selama dalam pendidikan — belum ada upaya-upaya untuk diorientasikan kepada kecintaan kepada laut, baik mengenai pengetahuan kelautan, pemanfaatan kekayaan laut, maupun teknologi kelautan. Terabaikannya kondisi ini mengakibatkan semangat untuk mencintai dan menjadi bangga sebagai pelaut, serta kesungguhannya untuk dapat memanfaatkan kekayaan laut, sangat berkurang. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah seharusnya bertanggungjawab, dalam arti perlu melakukan promosi besar-besaran dan terencana, seperti menggali kembali sastra-sastra lama yang berkaitan dengan laut untuk dijadikan bahan bacaan anak didik, membuat film-film yang dapat menggugah kecintaan dan kebanggaan sebagai pelaut, menkonsentrasikan pendirian lembaga-lembaga pendidikan kelautan di berbagai daerah setingkat kabupaten, sampai pada kegiatan terencana lain yang dapat mempercepat kecintaan dan kesanggupan untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan laut.
Model Kajian Kebudayaan
Kajian mengenai masalah-masalah sosial ekonomi, dan sosial budaya dalam konteks pembangunan masyarakat, hingga dewasa ini masih banyak dilakukan dalam bentuk kajian-kajian makro, seperti yang terwujud dalam penelitian-penelitian survei. Model kajian demikian ini memang bermanfaat terutama untuk melihat secara cepat faktor-faktor penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi. Hanya saja, penelitian-penelitian demikian, sering tidak mampu melihat permasalahan secara holistik, di samping ukuran yang digunakan untuk melihat dan menilai permasalahan-permasalahan yang muncul umumnya tidak menggunakan ukuran-ukuran dari kebudayaan masyarakat yang dipelajari.Untuk lebih mengarah kepada pemahaman permasalahan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat, dalam kerangka peningkatan taraf kesejahteraan kehidupan masyarakat, dibutuhkan kaji lanjut dalam bentuk yang lebih memusatkan perhatian kepada pemahaman atau pengertian (understanding) dengan menggunakan perspektif emik. Dalam perspektif emik itu, masyarakat tidak dijadikan objek tetapi justru dijadikan subjek. Artinya, mereka perlu dilibatkan untuk bersama-sama memahami permasalahan, menganalisis mengapa permasalahan itu muncul, dan alternatif-alternatif pemecahan apa saja yang bisa ditawarkan.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) telah mengancam keberlangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan diharapkan dapat secepatnya direvisi. Sejumlah LSM tersebut yakni Lakpesdam NU Jepara, Layar Nusantara, YLBHI-LBH Semarang LPH-YAPHI dan Forum Nelayan Jepara (FORNEL).
Sementara itu, Kepala Program dan Advokasi Layar Nusantara Jawa Tengah Sukarman, di Semarang, Jumat, mengatakan bahwa Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3) yang terdapat dalam Pasal 16 UU Nomor 27 Tahun 2007 merupakan salah satu bentuk kebijakan yang berpihak kepada pemilik modal. "Walaupun HP3 dapat diberikan kepada seseorang atau badan hukum, termasuk nelayan, namun dengan melihat persyaratan teknis, administrasi, dan operasional (Pasal 21), sulit bagi nelayan untuk mendapatkan HP3," katanya.
Menurut Karman, sejumlah pasal yang mengatur HP3 tersebut merupakan bentuk komersialisasi sumber daya pesisir. Hal tersebut, sesuai pasal 20 yang menyatakan bahwa HP3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. "Saat ini, Koalisi Rakyat Tolak HP3, yang terdiri dari perwakilan nelayan dan LSM sedang mengajukan gugatan dan berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan, yakni membatalkan pasal-pasal yang mengatur HP3 dalam UU Nomor 27 Tahun 2007," katanya
Karman mengatakan, dengan dihapuskannya pasal-pasal tersebut, maka nelayan dan masyarakat sipil berpeluang terlibat dalam menentukan kebijakan. Pada tingkat lokal, beberapa daerah Kabupaten atau kota dan provinsi sedang menginisiasi peraturan daerah tentang pengelolaan pesisir, misalnya di kabupaten Jepara. Bahkan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2009 sudah melakukan pengesahan Perda tentang Pengelolan Pesisir. Ia menambahkan, masyarakat pesisir khususnya petambak tradisional dan nelayan tangkap sangat bergantung dengan keberadaan sumber daya pesisir dan kelautan.
Mereka membutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan yang berkelanjutan untuk menjamin kehidupan mereka. Namun, kondisi yang ada justru ada industrialisasi yang terjadi di pesisir pantai utara Jawa Tengah Berdasarkan catatan Layar Nusantara, lanjut Karman, ada 41 titik bencana ekologi akibat industrialisasi seperti pencemaran, reklamasi, rusaknya terumbu karang, hilangnya ikan tangkapan, dan abrasi.
Next: Karakter Masyarakat Pesisir |